BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Impaksi
adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam rektum yang merupakan akibat konstipasi yang tidak
teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan.
Impaksi berat, tumpukan feses sampai
pada kolon sigmoid. Semua orang dapat mengalami impaksi, terlebih pada lanjut
usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus,
red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.
Mencegah
impaksi secara umum ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah
mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada
buah dan sayur. Jika penderita impaksi ini mengalami kesulitan mengunyah,
misalnya karena ompong, haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
1.2 TUJUAN
a. Tujuan
Umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori impaksi dan
asuhan keperawatan dalam menangani kasus impaksi.
b. Tujuan
Khusus :
1. Memahami definisi Impaksi
2. Memahami etiologi Impaksi
3. Memahami patofisiologis Impaksi
4. Memahami manifestasi klinis Impaksi
6. Memahami penatalaksanaan Impaksi
7. Memahami asuhan keperawatan pada Impaksi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Impaksi
adalah kumpulan fekal yang mengeras, mengendap dalam rectum yang tidak dapat
dikeluarkan. Impaksi feses dapat didefenisikan sebagai suatu massa atau
kumpulan yang mengeras, feses seperti dempul pada lipatan rektum. Pada impaksi
yang gawat feses terkumpul dan ada di dalam colon sigmoid. Impaksi terjadi pada
retensi yang lama dan akumulasi dari bahan-bahan feses. Klien yang lemah, tidak
sadar akan lebih cenderung mengalami impaksi karena mereka terlalu lemah untuk
memenuhi kebutuhan defekasinya. Tanda impaksi ialah ketidakmampuan mengeluarkan
fekal selama beberapa hari, walaupun terdapat keinginan melakukan defekasi.
Kehilangan nafsu makan, distensi, dan kram abdomen, serta nyeri rektum dapat
menyertai keadaan ini.
Klien sering mengeluh konstipasi,
nyeri pada dubur. Banyak terjadi pada klien dengan gangguan neurologis atau
psikosis. Untuk mengatasi komplikasi lebih lanjut, feces perlu dikeluarkan
secara manual.
Impaksi feses ditandai dengan
adanya diare dan kotoran yang tidak normal. Cairan merembes keluar feses sekeliling
dari massa yang tertahan. Impaksi dapat juga
dinilai dengan pemeriksaan digital pada rektum, selama impaksi massa
yang mengeras sering juga dapat dipalpasi. Diare yang bersama dengan konstipasi, termasuk gejala yang sering
tetapi tidak ada keinginan untuk defekasi dan nyeri pada rektum. Hadirnya
tanda-tanda umum dari terjadinya penyakit ; klien menjadi anoreksia, abdomen
menjadi regang dan bisa juga terjadi muntah.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab
dari impaksi feses biasanya kebiasaan buang air besar yang jarang dan
konstipasi. Obat-obat tertentu juga
berperan serta pada impaksi. Barium digunakan pada pemeriksaan radiologi
pada saluran gastrointestinal bagian atas dan bawah dapat menjadi faktor
penyebab, sehingga setelah pemeriksaan ini hasil pengukuran diperoleh untuk
memastikan pergerakan barium. Pada orang yang lebih tua faktor-faktor yang
beragam dapat menyebabkan impaksi ; asupan cairan yang kurang, diet yang kurang
serat, rendahnya aktivitas, melemahnya tonus otot.
2.3 TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda akan berbeda antara
seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan, hormon, gaya hidup dan
bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda
yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya
adalah sebagai berikut:
·
Perut terasa begah, penuh, dan bahkan
terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 10 hari
atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
·
Tinja menjadi lebih keras, panas, dan
berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada
biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah atau tidak
keluar sama sekali).
·
Pada saat buang air besar tinja sulit
dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan
perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja (bahkan sampai mengalami
ambeien dan berkeringat dingin).
·
Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
·
Bagian anus terasa penuh, dan seperti
terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan
keras.
·
Frekuensi buang angin meningkat disertai
bau yang lebih busuk daripada biasanya (bahkan terkadang penderita akan
kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang angin).
·
Menurunnya frekuensi buang air besar,
dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air besar
menjadi 7 hari sekali atau lebih).
·
Terkadang mengalami mual bahkan muntah
jika sudah parah.
·
Sakit punggung bila tinja yang tertumpuk
cukup banyak.
·
Nafsu makan dapat menurun.
Sedangkan untuk gejala psikologis
yang dapat terjadi pada para penderita impaksi antara lain:
·
Kurang percaya diri
·
Lebih suka menyendiri atau menjauhkan
diri.
·
Tetap merasa lapar tapi ketika makan
akan lebih cepat kenyang (apalagi ketika hamil perut akan terasa mulas) karena
ruang dalam perut berkurang.
·
Emosi meningkat dengan cepat.
·
Sering berdebar-debar sehingga cepat
emosi yang mengakibatkan stres sehingga rentan sakit kepala atau bahkan demam.
·
Tubuh tidak fit, tidak nyaman, lesu,
cepat lelah, dan terasa berat sehingga malas mengerjakan sesuatu bahkan
kadang-kadang sering mengantuk.
·
Kurang bersemangat dalam menjalani
aktivitas.
·
Aktivitas sehari-hari terganggu karena
menjadi tubuh terasa terbebani yang mengakibatkan kualitas dan produktivitas
kerja menurun.
2.4 PATOFISIOLOGI
Defekasi
seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan
kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari impaksi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari
salah satu mekanisme ini dapat berakibat impaksi.
Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding
perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam
proses BAB.
Patogenesis
dari impaksi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang
tumpang tindih. Walaupun impaksi merupakan keluhan yang banyak pada usia
lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua
yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan
patofisiologi yang menyebabkan impaksi bukanlah karena bertambahnya usia tapi
memang khusus terjadi pada mereka dengan impaksi.
Penelitian
dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas
motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda
radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan.
Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita impaksi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 10 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari
bahkan lebih. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada
kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
impaksi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Selain
itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot
polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan impaksi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang mengendap dan
keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama bahkan sampai tidak
bisa keluar sama sekali. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi
dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka
yang mengalami impaksi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :
1. Diskesia
Rektum
Ditandai
dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok
dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak
disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga
dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB
seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rektum
2. Dis-sinergis
Pelvis
Terdapatnya
kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
anus saat mengejan.
3. Peningkatan
Tonus Rektum
Terjadi
kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi
merupakan hal yang dominan.
2.5 PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan
non-farmakologis
·
Latihan usus besar : melatih usus besar
adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita impaksi
yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara
teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu
ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex
gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
·
Diet : peran diet penting untuk
mengatasi impaksi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian impaksi
dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker
kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu
transit di usus. untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan cukup asupan
cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan
cairan.
·
Olahraga : cukup aktivitas atau
mobilitas dan olahraga membantu mengatasi impaksi jalan kaki atau lari-lari
kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan
sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut.
2. Pengobatan
farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang
berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan
golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
·
memperbesar dan melunakkan massa feses,
antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
·
melunakkan dan melicinkan feses, obat
ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah
penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
·
golongan osmotik yang tidak diserap,
sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal,
antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
·
merangsang peristaltik, sehingga
meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang,
dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :
Bisakodil, Fenolptalein.
2.6 ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORI
Pengkajian
Pengkajian
pasien dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan data objektif melalui interview
dan pemeriksaan fisik terutama yang berkaitan dengan saluran cerna, pemeriksaan
laboratorium dan radiology.
DATA SUBJEKTIF
Pengumpulan
data berkaitan dengan riwayat eliminasi feses akan membantu perawat memastikan
pola BAB pasien yang normal.
Sebagian besar
pengkajian riwayat keperawatan terdiri dari :
1. Pola
defekasi
Frekuensi
dan waktu klien mengalami defekasi, apakah pola BABberubah baru-baru ini,
apakah pola BAB pernah berubah. Jika iya, apakah klien mengetahui faktor-faktor
penyebabnya.
2. Pola
tingkah laku
Penggunaan
laksatif, dan bahan-bahan yang sama yang mempertahankan pola BAB yang normal.
Apa rutinitas yang dilakukan klien untuk mempertahankan pola defekasi yang
biasa (contoh: segelas jus lemon panas ketika sarapan pagi atau jalan pagi sebelum
sarapan).
3. Deskripsi
feses
Bagaimana
klien mendeskripsikan fesesnya, termasuk warna, tekstur (keras, lembut,
berair), bentuk, bau.
4. Diet
Makanan
apa yang dipercayai oleh klien yang dapat mempengaruhi proses defekasi, jenis
makanan, porsi, makanan yang selalu dia dihindari, apakah makanan tersebut
dimakan secara teratur.
5. Cairan
Berapa
jumlah dan jenis asupan cairan setiap hari (contoh: 6 gelas air, 5 cangkir
kopi).
6. Latihan
Pola
latihan seperti apa yang dilakukan klien setiap hari, frekuensi dan lamanya.
7. Obat-obatan
Apakah
klien mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi saluran intestinal
(contoh: zat besi, antibiotika, antidiare, analgesik, dan antasida)
8. Stres
Apakah
klien mengalami stres dalam jangka waktu yang lama atau singkat. Tetapkan stres
seperti apa yang dialami klien dan bagaimana dia menerimanya.
9. Pembedahan
Apakah klien mengalami pembedahan
atau penyakit yang berpengaruh terhadap saluran cerna. Keberadaan ostomi harus
diperhatikan.
DATA OBJEKTIF
Data
objektif didapat melalui pemeriksaan fisik khususnya yang berkaitan dengan
proses pembuangan yaitu intestin pada bagian perut hingga anus, pengkajian
dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
INTESTINAL
Pengkajian
pada abdomen dengan rujukan khusus pada saluran intestinal; Klien dianjurkan
dalam posisi supine dan diselimuti sehingga hanya bagian abdomen yang terlihat.
Perawat harus mengidentifikasi batasan-batasan yang digunakan sebagai
nilai-nilai rujukan untuk mendeskripsikan hasil yang dijumpai.
·
Inspeksi
Perawat
mengobservasi bentuk dan kesimetrisan. Normalnya perut berbentuk datar/rata
tanpa adanya tonjolan. Tonjolan seperti massa akan kelihatan suatu bengkak,
mengobservasi dinding abdomen untuk gelombang yang dapat dilihat yang
mengidentifikasikan kerja peristaltik usus. Kecuali pada orang-orang tertentu
terkadang tidak dapat diobservasi secara normal. Peristaltik yang dapat
diobservasi menunjukkan adanya suatu obstruksi intestinal.
·
Palpasi
Baik palpasi
ringan atau dalam keduanya digunakan, biasanya untuk mendeteksi dan mengetahui
adanya daerah lunak dan massa. Keempat kuadran pada abdomen dipalpasi mulai
dari quadran kanan atas, kiri atas, kiri bawah, kanan bawah dan daerah
umbilikal, otot-otot abdomen harus rileks untuk memperoleh hasil palpasi yang
diharapkan. Perawat seharusnya melakukan palpasi ringan kemudian dalam. Daerah
yang sensitif (daerah yang menjadi keluhan pasien) seharusnya dipalpasi
terakhir karena kontraksi otot-otot (pelindung abdomen) yang sering terjadi
ketika daerah yang nyeri tersentuh.
Suatu kelainan
abdomen seharusnya dapat diukur pada daerah umbilikal dengan menempatkan suatu
tip pengukur sekeliling tubuh. Pengukuran berulang akan menunjukkan apakah
tekanan meningkat atau menurun. Secara normal perut akan terasa lembut, tidak
ada nyeri pada palpasi ringan dan dalam, data tidak dijumpai adanya massa yang
keras.
·
Perkusi
Daerah abdomen
diketuk untuk mendeteksi cairan pada rongga abdomen, tekanan intestinal
berhubungan dengan flatus dan pembentukan massa seperti pembesaran kantung
empedu dan lever. Daerah seluruh abdomen diperkusi, dimulai pada daerah kuadran
kanan atas menurut arah jarum jam. Flatus menghasilkan resonansi (tympani),
sementara cairan dan massa menghasilkan bunyi ”dull” (tumpul). Ketika ada
cairan di abdominal, ketukan menghasilkan suara tumpul diantara cairan. Ketika
klien berada pada satu sisi, cairan ascites mengalir ke sisi tersebut. Ketukan
memperlihatkan sebuah garis damartasi di antara dulnes dan tympani; garis ini
menandai adanya tingkat cairan; sebuah garis ditarik di atas abdomen sehingga
perawat dapat mengukur apakah jumlahnya meningkat atau menurum, ketika
dilakukan ketukan selanjutnya.
·
Auskultasi
Suara usus
dikaji dengan stetoskop. Suara usus mencerminkan peristaltik usus kecil,
dideskripsikan menurut intensitas, keteraturan, dan frekuensi atau tingkat
aktivitasnya. Intensitas menunjukkan kekuatan dari suara atau rata-rata dari
peristaltik. Kuat lemahnya (dentum) dari dinding intestinal sebagai hasil dari
gelombang peristaltik, pada peningkatan tekanan intestinal akan ada kemungkinan
peningkatan dentuman. Tingkat aktivitas atau frekuensi dari suara usus juga
dikaji. Peningkatan atau penurunan peristaltik dapat terjadi karena beberapa
alasan: proses pembedahan; ketidakseimbangan elektrolit, seperti ketidaknormalan
dari rendahnya tingkat potasium serum dan peritonitis. Intensitas dan frekuensi
yang abnormal pada suara usus (borborygmi) terjadi pada enteritis dan pada
obstruksi usus kecil. Pada pemeriksaan anorektal klien biasanya dianjurkan
dalam posisi sims/miring ke kiri atau genupectoral. Klien wanita juga
disarankan dalam posisi litotomi.
REKTUM DAN ANUS
·
Inspeksi
Daerah perianal
dikaji warnanya, tanda-tanda peradangan, scar, lesi, fisura, fistula atau
hemorhoid. Juga ukuran, lokasi dan kepadatan dari lesi dicatat. Secara normal
tidak ditemukan adanya peradangan ataupun fistula.
·
Palpasi
Selama
pemeriksaan rektal sangat penting bahwa palpasi harus lembut sehingga tidak
merangsang refleks dari nervus vagus, yang dapat menekan denyut jantung.
·
Feses
Wadah khusus
harus disediakan untuk sampel feses. Sangat penting bagi perawat mengetahui
mengapa spesimen diambil dan wadah yang digunakan tepat. Kadang-kadang wadah
memakai zat pengawet khusus untuk menunjukkan hasil tes. Petunjuk khusus harus
ditulis dan dilampirkan ketika penyediaan spesimen. Klien dapat menyediakan
spesimennya setelah diberi informasi yang adekuat. Feses tidak boleh bercampur
dengan urin atau air, karenanya klien diminta BAB di bedpan. Sebuah tongue
spatel kayu atau plastik digunakan untuk memindahkan spesimen, dan sekitar
2,5cm ditempatkan di dalam wadah. Jika kotoran berbentuk cair, dikumpulkan
15-30ml. Wadah kemudian ditutup dengan aman dan tepat, dilengkapi label. Pada
kenyataannya bahwa spesimen yang telah diperoleh harus dimasukkan sebagai
rahasia klien. Untuk tes tertentu diperlukan feses segar. Jika harus seperti
itu spesimen dibawa segera ke lab. Spesimen kotoran jangan ditinggalkan pada
suhu ruangan dalam waktu yang lama karena bakteri dapat mengubahnya. Wadah
spesimen biasanya memiliki petunjuk penyimpanan, hal ini harus diikuti jika
spesimen tidak dapat dikirim segera ke lab. Pada beberapa instansi digunakan
pendingin. Untuk mengamankan spesimen dari bayi atau anak-anak yang tidak
terlatih di toilet, spesimen diambil dari feses yang baru. Ketika feses
dikultur untuk memperoleh mikroorganisme, feses dipindahkan ke wadah dengan
aplikator steril.
Feses normal
berwarna coklat, hal ini berhubungan dengan adanya bilirubin dan turunannya
yaitu stercobilin dan urotilin; kegiatan dari bakteri normal yang terdapat pada
intestinal. Bilirubin merupakan pigmen berwarna kuning pada empedu. Feses dapat
berwarna lain, khususnya ketika ada hal-hal yang abnormal. Misalnya; feses
hitam seperti tir, ini menunjukkan adanya perdarahan dari lambung atau usus
halus; warna tanah liat (acholic) menunjukkan adanya penurunan fungsi empedu;
hijau atau orange menunjukkan adanya infeksi pada intestinal. Makanan juga
dapat mempengaruhi warna feses, misalnya: gula bit merubah feses menjadi warna
merah, kadang-kadang hijau. Obat-obatan juga dapat merubah warna feses,
misalnya zat besi, dapat membuat feses berwarna hitam.
Konsistensi :
Secara normal feses berbentuk tetapi lembut dan mengandung air sebanyak 75%
jika seseorang mendapat intake cairan yang cukup, sedangkan 25% lagi adalah
bagian padat.
Feses normal
bergerak lebih cepat dari normal melalui intestinal, sehingga hanya sedikit air
dan ion yang direabsorpsi ke dalam tubuh. Feses yang keras mengandung lebih
sedikit air daripada normal dan pada beberapa kasus mungkin sulit atau nyeri
sekali saat dikeluarkan. Beberapa orang, bayi dan anak-anak khususnya mungkin
mengeluarkan feses yang berisi makanan yang tidak dicerna.
Bentuk : Feses
normal berbentuk rektum.
Bau: Bau feses
merupakan hasil kerja bakteri pada intestinal dan bervariasi pada setiap orang.
Bau feses yang sangat menyengat (tajam) dapat menunjukkan adanya gangguan
saluran cerna.
·
Darah
Darah yang
terdapat pada feses adalah abnormal. Darah dapat berwarna terang atau merah
terang, hal ini berarti darah mewarnai feses pada proses eliminasi akhir. Feses
berwarna hitam dan tir berarti darah memasuki chyme pada lambung atau usus
halus. Beberapa obat-obatan dan makanan juga dapat membuat feses berwarna merah
atau hitam. Oleh karena itu adanya darah harus dikonfirmasi melalui sebuah
test. Perdarahan pada feses kadang tidak terlihat, ini dikenal occult
bleeding(perdarahan tersembunyi).
Test untuk
mengetahui adanya darah pada feses secara rutin dilakukan di klinik. Hemotest
menggunakan tablet sebagai reagen; sementara guaiac dan hemoccult test
menggunakan reagen berbentuk solusion (larutan), setiap test memerlukan
spesimen feses. Guaiac test secara umum lebih sering digunakan. Feses yang
sedikit diletakkan pada kertas saring atau kertas usap. Reagen selanjutnya
diletakkan dan warna dicatat; warna biru menunjukkan adanya darah.
·
Bahan-bahan abnormal
Kadang-kadang feses mengandung bahan-bahan
asing yang dicerna secara kebetulan, pencernaan benda-benda asing secara
kebetulan banyak ditemukan pada anak-anak. Bahan-bahan abnormal lain termasuk
pus, mukus, parasit, lemak dalam jumlah banyak dan bakteri patogen. Test untuk
mengetahui keberadaan bahan-bahan asing biasanya ditunjukkan di lab.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
·
Test laboratorium
Feces ditampung
dalam kontainer untuk diperiksa di laboratorium untuk mengetahui adanya atau
tidaknya kelainan dalam feses berupa kadar darah, bakteri dll.
·
Pandangan langsung
Yaitu tehnik
pandangan secara langsung ; anoscopy, pandangan dari saluran anus; proctoscopy,
pandangan pada rektum; proctosigmoidoscopy, pandangan pada rektum dan kolon
sigmoid; umumnya saat ini dilakukan tindakan colonoscopy.
·
Roentgenography
Roentgenoraphy
dilakukan untuk mengetahui kondisi saluran cerna dari sumbatan ataupun
deformitas dengan memasukkan zat kontras seperti bubur barium dilarutkan dalam
1 liter air untuk diminum, atau dengan memasukkan larutan omnipaque kedalam
kolon menggunakan rektal tube melalui anus.
Diagnosa
Keperawatan
1. Impaksi
berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
3. Nyeri
akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Intervensi
Keperawatan
1. Impaksi
berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien
dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
·
Defekasi dapat dilakukan satu kali
sehari
·
Konsistensi feses lembut
·
Eliminasi feses tanpa perlu mengejan
berlebihan
Intervensi
Mandiri
·
Tentukan pola defekasi bagi klien dan
latih klien untuk menjalankannya
·
Atur waktu yang tepat untuk defekasi
klien seperti sesudah makan
·
Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai
dengan indikasi
·
Berikan cairan jika tidak kontraindikasi
2-3 liter per hari
Kolaborasi
·
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi
2. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan :
menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
·
Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
·
Mempertahankan massa tubuh dan berat
badan dalam batas normal
·
Nilai laboratorium dalam batas normal
·
Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi
Mandiri
·
Buat perencanaan makan dengan pasien
untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
·
Dukung anggota keluarga untuk membawa
makanan kesukaan pasien dari rumah.
·
Tawarkan makanan porsi besar disiang
hari ketika nafsu makan tinggi
·
Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh
sesuai indikasi.
·
Pastikan pola diet yang pasien yang
disukai atau tidak disukai.
·
Pantau masukan dan pengeluaran dan berat
badan secara periodik.
·
Kaji turgor kulit pasien
Kolaborasi
·
Pantau nilai laboratorium, seperti Hb,
albumin, dan kadar glukosa darah
·
Ajarkan metode untuk perencanaan
makan
3. Nyeri
akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Tujuan :
menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
·
Menunjukkan teknik relaksasi secara
individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
·
Mempertahankan tingkat nyeri pada skala
kecil
·
Melaporkan kesehatan fisik dan
psikologisi
·
Mengenali faktor penyebab dan
menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
·
Menggunakan tindakan mengurangi nyeri
dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat.
Intervensi
Mandiri
·
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada
aktivitas dari nyeri dengan melakukan penggalihan melalui televisi atau radio
·
Perhatikan bahwa lansia mengalami
peningkatan sensitifitas terhadap efek analgesik opiate
·
Perhatikan kemungkinan interaksi obat –
obat dan obat penyakit pada lansia
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Impaksi
sering diartikan sebagai sangat kurangnya frekuensi buang air besar atau bahkan
tidak BAB sama sekali, dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan
kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar.
Impaksi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang
aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Manifestasi
klinis yang sering muncul adalah rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan,
sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap,
mengejan saat defekasi, eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering
bahkan tidak keluar sama sekali.
Penatalaksanaan
impaksi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel
training, latihan jasmani, evaluasi panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik :
pencahar pembentuk tinja, pelembut tinja, pencahar stimulant, pencahar
hiperosmolar dan enema.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002.
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku
Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar